Istiadat Nias

Istiadat Nias

Dibandingkan dengan pulau-pulau tetangga lain di Sumatera, budaya Pulau Nias telah mengembangkan dengan jelas tradisi dan adat istiadat unik.  Beberapa tradisi ini berhubungan dengan pemujaan leluhur sebelum kekristenan dan sebagian besar ini telah lenyap. Adat-adat lainnya seperti perbudakan dan pengayauan juga telah dihapuskan ketika Pulau Nias bergabung dengan dunia modern. Tetapi banyak  adat istiadat Nias masih dipraktekkan, seperti lompat batu, upacara pernikahan dan terutama sekali, tarian tradisional dan musik.

Lompat batu

museum_pusaka_nias_istiadat_lompat_batu

Lompat batu (Hombo Batu) adalah praktek budaya Nias yang unik. Ini juga terkenal oleh orang Indonesia karena, upacara lompat batu Nias digambarkan pada uang lama seribu rupiah. Awalnya upacara lompat batu adalah sebagian dari ritual inisiasi  pria muda untuk diterima sebagai orang dewasa dan prajurit. Ketinggian piramida batu lompat itu adalah di antara 1,8 meter sampai 2,2 meter. Lompat ini dilakukan tanpa alas kaki dan latihan berulang-ulang diperlukan sebelum mencoba lompat ini. Keterampilan untuk melompat benda yang tinggi dikembangkan sebagai teknik pertempuran. Dalam serangan mendadak, prajurit bisa melompati tembok pertahanan di desa musuh. Banyak desa di selatan masih memiliki susunan batu untuk upacara ini.


Penghormatan para leluhur

Dibuat patung dari kayu untuk orangtua yang baru meninggal. Patung itu diresmikan pada hari keempat sesudah kematian. Kemudian roh orang tua hadir dalam patung itu (pemujaan leluhur). Segala peristiwa yang terjadi di dalam satu keluarga disampaikan dengan doa kepada mereka.

museum_pusaka_nias_istiadat_adu_zatua

Kiri: foto sejarah dari 1917 patung leluhur di rumah Nias. Kanan: patung Adu Zatua di Museum Pusaka Nias di Gunungsitoli.

Mengayau

Seorang laki-laki baru boleh nikah, kalau sudah memenggal kepala orang. Pada tahun 851 Sulayman sudah mencatat tradisi ini. Kebutuhan Binu (kepala manusia), menurut kepercayaan orang Nias dibutuhkan Binu pada berbagai kesempatan:

  • Kalau ayah sudah meninggal harus ada beberapa Binu sebagai pelayan baginya.
  • Kalau mendirikan rumah adat besar tengkorak seorang laki-laki ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kanan, dan tengkorak seorang perempuan ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kiri.
  • Kalau hendak mendirikan satu megalit di depan rumah, harus ditanam satu Binu di sebelah bawah.
  • Untuk mengesahkan hukum adat (fondrakö) harus ada Binu, seorang budak dibunuh.       

museum_pusaka_nias_istiadat_mengayau

Ruang pertemuan desa di Nias Selatan dihiasi dengan kepala manusia


Museum_pusaka_nias_istiadat_makam

Kursi bambu untuk mayat.

Pemakaman

Pada tahun 1908 pemerintah Belanda perintahkan, bahwa mayat-mayat harus dikubur. Sebelumnya diletakkan di atas satu bagan atau para-para yang tinggi. Sesudah dua atau tiga minggu kepala dari mayat itu diambil, dibersihkan dan diletakkan di dalam satu peti tengkorak dekat rumah. Mayat-mayat orang biasa kadang juga digantung pada pohon dengan memakai kursi bambu sederhana.


Pesta dan upacara

Di masa lalu ada banyak pesta dan upacara untuk merayakan berbagai aspek keluarga dan kehidupan beragama. Beberapa perayaan-perayaan ini lenyap ketika mayoritas orang Nias menjadi Kristen. Tetapi masih ada lain yang dirayakan dalam berbagai bentuk:

Pesta hukum adat (Fondrakö)

museum_pusaka_nias_istiadat_fondrako

Batu ini digunakan untuk dipancung orang-orang yang telah melanggar hukum adat. Kec. Ma’u, Kab. Nias.

Hukum adat dirumuskan dan disyahkan dalam upacara yang disebut Fondrakö. Pesta hukum itu secara periodis dibaharui. Hukum adat (fondrakö) tersebut disahkan dan ditetapkan dengan sumpah kutuk. Orang yang melanggar hukum itu dikutuki (larakö). Kerasnya hukuman tergantung dari apa pelanggaran yang dilakukan. Untuk setiap pelanggaran ada hukuman khusus. Hukuman bisa berkisar dari membayar denda ke penghukuman mati.  Denda bisa dibayar dengan beras, daging babi atau emas. Hukuman mati bisa dilakukan oleh penembakan, tenggelam atau dengan pedang. Hukuman mati bisa diubah untuk kehidupan dalam perbudakan jika denda yang besar dibayar, atau jika terpidana diampuni oleh bangsawan.

Pesta-pesta Adat

Adat dalam bahasa Nias disebut Hada atau Böwö, yaitu adat istiadat. Hidup manusia seluruhnya diatur menurut böwö orang Nias. Dan salah satu böwö yang sudah diatur yaitu Böwö Wangowalu (adat perkawinan).

Pesta Perkawinan

Perkawinan di Nias adalah eksogami. Mempelai pria harus melunasi emas kawin kepada semua pihak yang punya hubungan famili dengan mempelai wanita itu, terutama kepada pihak ibunya (uwu). Kemudian di dalam desa sendiri masih diharapkan supaya mempelai pria mengadakan satu pesta untuk seluruh warga. Pesta itu merupakan syarat kalau di kemudian hari hendak diadakan pesta jasa (owasa). Kalau mempelai pria tidak memberi pesta dalam desanya, dia tetap dianggap sebagai anak-anak [iraono], sekalipun ia sudah tua secara umur, dan tidak punya hak suara dalam desa. Biaya utama dari pesta pernikahan waktu itu dan masih sampai hari ini adalah pembayaran sebanyak babi yang dibutuhkan untuk pesta. Sampai hari ini, biaya pesta pernikahan merupakan beban besar pada pasangan muda yang berencana untuk menikah.

museum_pusaka_nias_istiadat_pernikaan

Kiri: prosesi pernikahan di desa Hiliwöria. Kanan: pasangan muda menikah di desa Onowaembo Idanoi. Foto oleh Alain Viaro, tahun 1982.

Pesta Jasa (Owasa & Fa’ulu)

Alasan-alasan untuk mengadakan pesta adat atau pesta jasa (owasa) adalah: perkawinan, mendirikan rumah baru, mendirikan salah satu megalit, mengadakan perhiasan emas, sudah berumur atau sebelum menghadap ajal. Seluruh warga desa dijamu pada pesta owasa. Siapa pun di desa yang mampu biayai untuk membeli babi yang diperlukan untuk upacara itu, bisa menyelenggarakan owasa. Orang yang menyelenggarakan owasa diusung dalam desa dan kepadanya diberi nama yang mulia. Kemudian osa-osa batu atau tugu batu lainnya didirikan di depan rumahnya.

Upacara Harimau (Famatö Harimao)

Museum_pusaka_nias_istiadat_harimao

Perarakan Harimau.

Pada zaman dulu di wilayah Maenamölö, Nias Selatan ada sebuah upacara di mana patung harimau diusung dan diarak keliling. Karena tidak ada harimau di Nias, patung itu (Adu Harimao) tampak lebih seperti anjing berkepala kucing. Upacara sakral ini digelar sekali setiap tujuh atau empat belas tahun. Usungan patung harimau itu kemudian dipatahkan dan patung harimau dibuang di sungai. Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao’. Masyarakat lokal percaya bahwa semua dosa yang mereka lakukan selama tahun-tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung. Karena sebagian besar dari Orang Nias menjadi Kristen, upacara Famatö Harimao tidak lagi dirayakan. Dalam upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi budaya lokal, upacara perarakan ini kadang-kadang dilakukan di Nias Selatan di acara-acara tertentu. Hari ini, upacara telah berubah nama menjadi ‘Famadaya Harimao’ (perarakan patung harimau).


Babi

Orang Nias tidak punya kerbau atau lembu. Mereka juga tak punya sapi. Binatang peliharaan yang paling penting ialah babi. Pada segala peristiwa dibutuhkan babi, segala pesta adat, setiap perkara dan perdamaian, pesta hukum [fondrakö], setiap tahap dalam pembangunan satu rumah adat, setiap peristiwa pribadi dalam suatu keluarga, kelahiran anak dan pemberian nama, berbagai jenis persembahan, u.p. sebelum pergi memburu, pada penyakit dan kalau imam berdoa, lagi pada kematian seseorang, juga dalam peristiwa mengayau. Tak ada sesuatu pun yang dapat diselesaikan dan disyahkan tanpa menyembelih babi. Tiada peristiwa dan pesta tanpa babi.

museum_pusaka_nias_istiadat_babi

Kiri: Babi yang diperlukan untuk pesta owasa diletakkan di desa Bawömataluo, tahun 1917. Kanan: Hari ini saat makan dan berbagi daging babi berikut protokol tradisional. Bawah: rahang babi  dari pesta tradisional menghiasi dinding di sebuah rumah bangsawan.


Warna, lambang dan pola Nias

Warna Nias adalah merah, kuning dan hitam. Arti dari warna adalah:

  • Kuning (emas): mewakili kekayaan, kemuliaan dan kesuksesan.
  • Merah (darah): mewakili keberanian dan keganasan pendekar Nias, serta marga mereka dan keluarga.
  • Hitam (tanah): mewakili tanah air mereka dan tanah yang subur di Nias, serta ketabahan dari orang-orang biasa.

Pakaian tradisional selalu menggunakan kombinasi dari tiga warna tersebut. Perempuan dari selatan memakai pakaian yang didominasi warna kuning, sementara perempuan di utara memakai pakaian yang didominasi warna merah. Pakaian tradisional juga menggabungkan pola dan lambang desain tertentu. Yang paling biasa digunakan adalah deretan corak segitiga, yang disebut ‘Ni’ohulayo’. Bentuk segitiga menyerupai kiat tombak dan pola ini melambangkan semangat kepahlawanan dari Orang Nias. Pola ini tidak hanya digunakan dalam pakaian tradisional, namun saat ini sering dikaitkan dengan budaya atau apapun yang mewakili Nias. Ada sejumlah lambang dan pola ikonik dalam budaya Nias yang dapat dilihat pada pakaian tradisional, karya batu dan ukiran kayu di rumah-rumah tradisional.

Museum_pusaka_nias_istiadat_warna

Kiri: warna dan pola dari Nias Selatan. Tengah: warna dan pola dari Nias Utara. Kanan: pola-pola yang menunjukan budaya Nias.


Pakaian

museum_pusaka_nias_istiadat_pakaian_3

Sanggar Museum memakai pakaian kulit kayo.

Pakaian tradisional Nias dinamakan “Baru Oholu” untuk pakaian pria dan “Baru Ladari” atau “Baru Isitö” untuk pakaian wanita. Pakaian tradisional biasanya merah atau kuning dan dikombinasikan dengan warna hitam dan emas. Pada zaman dulu orang-orang di Nias tidak memiliki akses ke tekstil seperti kapas. Mereka membuat pakaian dari kulit pohon atau dengan menenun serat-serat dari kulit pohon atau rumput. Pakaian laki-laki terdiri dari rompi yang pada dasarnya cokelat atau hitam dan dihiasi ornamen kuning, merah dan hitam. Pakaian wanita hanya terdiri dari selembar kain yang melilit pinggang dan tanpa baju atas, tapi dihiasi dengan gulungan gelang kuningan dan anting besar.

Kulit kayu dari pohon oholu untuk membuat cawat (saombö) dan rompi (baru oholu) untuk laki-laki. Rompi juga bisa dibuat dari serat kulit pohon disebut isitö. Itu dipercaya bahwa siapa pun mengenakan pakaian tenun dengan serat isitö menjadi sangat kuasa. Jaket dan rompi yang berkualitas lebih rendah terbuat dari serat rumput disebut ladari. Serat isitö juga digunakan untuk menenun rok (U’i) dan kain untuk wanita. Katun lembut (afasi niha) yang jarang digunakan bisa dipintal dan ditenun untuk menutupi bagian-bagian tertentu.

Museum_pusaka_nias_istiadat_pakaian2

Ibu dari Nias Selatan; pakaiannya dihiasi dengan lambang Nias.

Pakaian kain kapas yang dibuat di Nias (afasi niha) sangat langka dan hanya bisa diperoleh oleh bangsawan. Akhirnya tekstil dari dunia luar sampai di Nias dan banyak orang mulai menggunakan bahan-bahan baru. Para wanita tidak lagi tanpa baju atas dan memiliki pakaian yang terbuat dari katun dan kain belacu atau bahkan sutra untuk wanita bangsawan. Lebih warna-warni mulai digunakan; terutama merah dan kuning dengan warna hitam dan emas sebagai rincian desain overlay.


Perhiasan dari Nias

Secara tradisional laki-laki dan perempuan memakai banyak perhiasan terutamanya bangsawan. Akun sejarah tertulis pertama dari Nias menyebutkan bahwa masyarakat setempat memakai banyak perhiasan emas.

Hiasan yang paling penting bagi pria adalah kalung yang terbuat dari tempurung kelapa atau tempurung kura-kura, yang disebut ‘Kalabubu’. Ini hanya bisa dipakai oleh pendekar yang telah membuktikan diri dalam pertempuran.  Bangsawan dan kepala suku memakai hiasan kepala yang besar. Pria memakai anting-anting hanya di telinga kanan. Di bagian utara, anting-anting ini besar sekali dan hampir sebesar kepala pria. Sebuah penghiasan yang sangat unik di Nias adalah kumis logam yang dipakai oleh pendekar.

Museum_pusaka_nias_istiadat_pehiasan_1

Kiri: Kalung ‘Kalabubu’. Tengah: Anting-anting besar: Kiri: Kumis logam.

Wanita memakai perhiasan emas, kuningan, tembaga, kerang dan manik-manik. Seringkali anting-anting dan gelang berukuran besar sekali. Terutama kalau dibandingkan dengan yang dipakai saat ini, seperti anting Saru Dalinga. Versi yang lebih kecil dari desain yang sama adalah yang dipakai hari ini, terutama di pesta pernikahan. Penghiasan wanita memiliki perbedaan dari daerah ke daerah. Karena itu, dari melihat foto-foto sejarah bisa dikatakan di mana foto tersebut diambil dari melihat perhiasan perempuan.

Museum_pusaka_nias_istiadat_pehiasan_2

Kiri: Perhiasan tradisional dari dulu. Tengah: Perhiasan Nias modern. Kanan: Perhiasan dari Kepulauan Batu (Tello)


Mengunyah sirih pinang: Manafo dan Bola nafo

Museum_pusaka_nias_istiadat_siri

Seperti di banyak tempat di Asia, mengunyah sirih adalah sesuatu yang biasa di Nias. Tradisi ini disebut sebagai “manafo”. Lima bahan yang digunakan; daun sirih (tawuo), kapur (betua), gambir (gambe), tembakau (bago), dan pinang (fino). Ramuan dari lima bahan ini disebut “Afo”.  Karena tradisi ini sangat hidup, “manafo” dianggap sebagai  satu simbol budaya Nias dan sering menjadi bagian di acara tradisional di Nias, seperti upacara menyambut pengunjung penting.

Museum_pusaka_nias_istiadat_bolanafo

Di upacara penyambutan ini tamu akan ditawarkan sirih, dari tas anyaman indah yang dikenal sebagai Bola nafo. Bola berarti tempat atau kantong, dan afo adalah ramuan dari lima bahan. Tas Bola nafo dibuat dengan menganyam rumput yang telah dikeringkan dan diwarnakan. Biasanya dihiasi dengan simbol dan motif dari Nias, masing-masing dengan makna tersendiri. Motif Ni’otarawa digunakan oleh bangsawan sementara motif Ni’ohulayo digunakan oleh masyarakat umum. Teknik yang digunakan untuk menganyam tas Bola nafo dan menenun pakaian tradisional juga digunakan untuk membuat barang-barang lain seperti tikar dan selimut.


Ni’okindrö (anyaman daun janur)

Pada pesta-pesta dan upacara, tempat untuk acara ini sering dihiasi dengan anyaman daun-daun janur.  Dengan menyambungkan anyaman daun janur ini, Orang Nias membuat bentuk dan pola yang indah . Ini disebut Ni’okindrö (anyaman daun janur). Gaya Ni’okindrö bervariasi antara daerah ke daerah. Bentuk yang dibuat oleh daun janur memiliki banyak arti yang berbeda. Hari ini ketika kunjungan tamu penting ke Nias, mereka sering disajikan dengan kalung yang dibuat menggunakan teknik ini. Kalung ini dikenal sebagai Nifatali Bulumio. Hanya beberapa orang yang mampu membuat kalung seperti ini. Di tahun 2016 pada waktu kunjungan Presiden Jokowi ke Nias, beliau dipersembahkan dengan Nifatali Bulumio yang dibuat oleh karyawan museum.

Museum_pusaka_nias_istiadat_Ni'okindro

Kiri: Ni’okindrö. Tengah: Nifatali Bulumio. Kanan: Presiden Jokowi di Pulau Nias pada tahun 2016 dengan Nifatali Bulumio dari Museum Pusaka Nias.

Sumber: https://museum-nias.org/istiadat-nias/